Nikah Tanpa Wali, Sahkah ?

Salah satu fenomena yang terjadi dewasa ini adalah maraknya pernikahan ‘jalan pintas’ ( nikah sirri ) dimana seorang wanita yang telah dewasa manakala tidak mendapatkan restu dari kedua orangtuanya atau merasa bahwa orangtuanya tidak akan merestuinya; maka dia lebih memilih untuk menikah tanpa walinya tersebut dan berpindah tangan kepada para penghulu bahkan kepada orang ‘yang diangkat’ nya sendiri sebagai walinya. Hal ini dilakukan dalam rangka upaya untuk menghindari perzinaan.

Keberadaan wali dalam suatu pernikahan merupakan perkara khilafiyah ( berbeda pendapat ) dikalangan para ulama mazhab, artinya seorang muslim boleh dan tidak tercela mengambil atau berpegang kepada salah satu dari dua pendapat tersebut tanpa saling menyalahkan, tentunya dengan landasan ilmu dan pemahaman bukan sekedar ikut-ikutan ;

1. Jumhur (mayoritas-kebanyakan) ulama mazhab menyatakan bahwa wali dalam pernikahan adalah rukun nikah. Artinya tidak sah nikah tanpa wali. Berdasarkan beberapa hadits ; Dari Abu Burdah, dari Abu Musa dari ayahnya –radliyallâhu ‘anhuma-, dia berkata, Rasulullah Shallallâhu ‘alaihi Wa Sallam bersabda, “Tidak (shah) pernikahan kecuali dengan wali.” Dalam hadits lain ; Dari ‘Imran bin al-Hushain secara marfu’ : “Tidak (shah) pernikahan kecuali dengan seorang wali dan dua orang saksi.” Dan dari ‘Aisyah radliyallâhu ‘anha, dia berkata, Rasulullah Shallallâhu ‘alaihi Wa Sallam bersabda, “Siapa saja wanita yang menikah tanpa idzin walinya, maka pernikahannya batil; jika dia (suami) sudah berhubungan badan dengannya, maka dia berhak mendapatkan mahar sebagai imbalan dari dihalalkannya farajnya; dan jika mereka berselisih, maka sultan (penguasa/hakim dan yang mewakilinya-red.,) adalah wali bagi orang yang tidak memiliki wali.”

Hadits pertama dari kajian ini diriwayatkan oleh Imam Ahmad dan empat Imam hadits, pengarang kitab-kitab as-Sunan (an-Nasaiy, at-Turmudziy, Abu Daud dan Ibn Majah). Hadits tersebut dinilai shahîh oleh Ibn al-Madiniy dan at-Turmudziy serta Ibn Hibban yang menganggapnya memiliki ‘illat (cacat), yaitu al-Irsal (terputusnya mata rantai jalur transmisinya setelah seorang dari Tabi’in, seperti bila seorang Tab’iy berkata, “Rasulullah bersabda, demikian…”).

Hadits kedua dari kajian ini diriwayatkan juga oleh Imam Ahmad dari al-Hasan dari ‘Imran bin al-Hushain secara marfu’ (sampai kepada Rasulullah). Menurut Syaikh ‘Abdullah bin ‘Abdurrahman al-Bassam, kualitas hadits ini adalah Shahîh dan dikeluarkan oleh Abu Daud, at-Turmudziy, ath-Thahawiy, Ibn Hibban, ad-Daruquthniy, al-Hâkim, al-Baihaqiy dan selain mereka. Hadits ini juga dinilai shahîh oleh Ibn al-Madiniy, Ahmad, Ibn Ma’in, at-Turmudziy, adz-Dzuhliy, Ibn Hibban dan al-Hâkim serta disetujui oleh Imam adz-Dzahabiy.

Sedangkan hadits yang ketiga dari kajian ini, kualitasnya adalah Hasan. Hadits tersebut dikeluarkan oleh Imam Ahmad, asy-Syafi’iy, Abu Daud, at-Turmudziy, Ibn Majah, ad-Daruquthniy, al-Hâkim dan al-Baihaqiy serta selain mereka dari jalur yang banyak sekali melalui Ibn Juraij dari Sulaiman bin Musa dari az-Zuhriy dari ‘Urwah dari ‘Aisyah. Rijâl (Para periwayat dalam mata rantai periwayatan) tersebut semuanya Tsiqât dan termasuk Rijâl Imam Muslim.

2. Sebagian Ulama menyatakan bahwa wali tidak menjadi syarat atau rukun sebuah pernikahan. Artinya pernikahan dianggap sah walau tanpa wali apabila wanita yang akan menikah tersebut sudah dewasa ( janda atau perawan ). Dan Pendapat ini dipegang oleh Imam Abu Hanifah.

Al-Imam Muhammad ibn ‘Ali al-Shawkani dalam Nayl al-Awtar mengatakan bahwa hadits ini ( Larangan nikah tanpa wali ) tidak sunyi dari pertikaian yaitu dari segi bersambung atau terputus sanad.

Dua orang ulama besar dalam ilmu hadits yaitu Sufyan al-Thawri dan Shu`bah ibn al-Hajjaj mengatakan hadith ini mursal. Terdapat seorang perawi bernama Abu Ishaq al-Hamdani seorang yang thiqah tetapi mudallis seperti yang disebut oleh Ibn Hibban dalam al-Thiqat. Dalam riwayat al-Bayhaqi semua perawinya adalah thiqah tetapi hanya mawquf pada Abu Hurayrah.

Dalam riwayat Ahmad ibn Hanbal, Ibn Majah dan al-Tabarani terdapat seorang perawi bernama al-Hajjaj ibn Arta’ah seorang daif dan mudallis. Ibn Hanbl berkat hamper semua riwaytanya mempunyai ziyadah, Ibn al-Madini meninggalkannya. Abu Htaim al-Razi berkata beliau saduq tetapi yudallis dari du`afa’.

Lantaran itu, al-Imam Abu Hanifah mengatakan bahwa wali tidak diambil secara mutlak dan tidak perlu keizinan wali berdasarkan hadits sahih yang artinya, “Wanita yang tidak bersuami itu (al-ayyim) lebih berhak terhadap dirinya dari walinya.” Riwayat al-Jama`ah kecuali al-Bukhari. Yakni dengan syarat ia mengawinkan dirinya dengan lelaki yg sekufu.

Abu Hanifah menangggap zahir nas al-Quran itu amat kuat dan tidak boleh ditakhsis atau ditafsil oleh hadith al-Ahad. Beliau hanya menerima hadith mutawatir atau mashhur yang tidak dipertikaikan. Abu Hanifah menolak hadith al-Zuhri di atas karena apabila al-Zuhri ditanya tentang hadits tersebut beliau tidak mengetahuinya dan menafikan bahwa beliau meriwayatkannya. Dalam sanad hadits riwayat Ibn Majah pula ada seorang pendusta bernama Jamil ibn Hasan al-‘Ataki.

Abu Hanifah dan al-Hanafiyyah juga berhujah dengan qiyas iaitu apabila wanita bebas dalam aqad jual beli dan urusan-urusan lain, maka mereka juga bebas tentang aqad perkawinan mereka. Ini karena tiada perbedaan antara satu aqad dengan aqad yang lain. Mereka juga mengqiyaskan wanita dengan lelaki dalam mewalikan diri sendiri setelah aqil baligh.

Al-Imam Malik ibn Anas

Malik ibn Anas membenarkan wanita yang tidak cantik, tidak berharta, tidak berketurunan mulia untuk nikah tanpa wali. Dawud al-Zahiri mengharuskan nikah tanpa wali bagi janda dan mensyaratkan wali bagi wanita perawan.

Al-Imam al-Shafii

Yunus ibn ‘Abd al-A`la mengatakan bahwa al-Imam al-Shafi`i sendiri mengatakan bahwa sekiranya seorang wanita dalam musafir dan ketiadaan wali, lalu ia tahkim yaitu menyerahkan perkawinannya kepada seorang lelaki, maka itu adalah harus (boleh). al-Nawawi menyokong perkara itu dengan syarat lelaki itu mesti adil. al-Nawawi mengatakan bahawa Yunus seorang yang thiqah.

Shaykh ‘Abd al-Rahman al-Jaziri seorang faqih terkemuka al-Azhar mengatakan bahawa kedua-dua bentuk pernikahan adalah sah, amat perlu dalam masyarakat Islam dan beliau menyokong hujah-hujah Hanafiyyah. Beliau berpendapat bahawa perkara ini menunjukkan kekekalan, kesyumulan dan kesesuaian Islam untuk menyelesaikan masalah masyarakat pada setiap masa dan tempat sehingga tidak ada seorang pun yang teraniaya. Kedua-dua pendapat adalah bagus, boleh diamalkan dan diterima akal. Menurut beliau, apabila aqad mengikut mazhab jumhur terhalang karena sesuatu sebab, umat Islam perlu menggunakan pendapat yang kedua (Pendapat Abu Hanifah) dan hal tersebut tidak tercela.

Mazhab al-Imam Abu Thawr dan al-Awza`i

Abu Thawr dan al-Awza`i mengatakan bahwa harus (boleh) bagi wanita muslimah mewalikan dirinya sendiri dengan izin walinya berpegang dengan mafhum hadits, “Mana-mana perempuan yang bernikah tanpa izin walinya…”. kesahihan aqad nikah oleh seseorang perawan atau janda adalah pendapat ‘Amir al-Sha`bi, Zufar, dan ulama Kufah. Mereka berpendapat wali bukan rukun sah nikah tapi hanya syarat tamam (kesempurnaan) nikah. Abu Yusuf, Muhammad ibn al-Hasan dan al-Awza`i mengatakan perkara ini sah dengan keizinan wali.

Hujah-hujah Mazhab al-Imam Abu Hanifah r.a.

1. Hadith wali dhaif (lemah)

al-Imam Abu Hanifah r.a. mengganggap hadiths wali ( larangan nikah tanpa wali) adalah dhaif (lemah) lalu tidak mewajibkan wali bagi seseorg muslimah baik perawan atau janda.

Al-Imam Muhammad ibn ‘Ali al-Shawkani dalam Nayl al-Awtar mengatakan bahawa hadits ini (larangan nikah tanpa wali) tidak sunyi dari pertikaian yaitu dari segi bersambung atau terputus sanad. Dua orang ulama besar dalam ilmu hadits yaitu Sufyan al-Thawri dan Shu`bah ibn al-Hajjaj mengatakan hadith ini mursal. Terdapat seorang perawi bernama Abu Ishaq al-Hamdani seorang yang thiqah tetapi mudallis seperti yang disebut oleh Ibn Hibban dalam al-Thiqat. Dalam riwayat al-Bayhaqi semua perawinya adalah thiqah tetapi hanya mawquf pada Abu Hurayrah.

Dalam riwayat Ahmad ibn Hanbal, Ibn Majah dan al-Tabarani terdapat seorang perawi bernama al-Hajjaj ibn Arta’ah seorang daif dan mudallis. Ibn Hanbal berkata hamper semua riwayatnya mempunyai ziyadah, Ibn al-Madini meninggalkannya. Abu Hatim al-Razi berkata beliau saduq tetapi mudallis dari du`afa’.

2. Hujah hadits sahih

Lantaran itu, al-Imam Abu Hanifah mengatakan bahawa wali tidak diambil secara mutlak (karena hadits – hadits wali tidak sahih) dan tidak perlu keizinan wali berdasarkan hadits sahih yang maknanya, “Wanita yang tidak bersuami itu (al-ayyim) lebih berhak terhadap dirinya dari walinya.” Riwayat al-Jama`ah kecuali al-Bukhari. Ayyim menurut bahasa ialah setiap wanita yg tidak bersuami baik ia perawan atau janda. Yakni dengan syarat ia mengawinkan dirinya dengan lelaki yang sekufu (sepadan).

Sekiranaya hadits-hadits wali adalah sahih, maka ia hanya khusus untuk wanita yg masih kecil belum baligh dan wanita gila. Adapun muslimah yg telah baligh ( dewasa) maka ia berhak mewalikan dirinya sendiri (haqq al-tasurruf). Beliau dan pengikutnya dari kalngan ulama hanfiyyah mentafsirkan hadits Tiada nikah melainkan dgn wali sebagai tidak sempurna nikah , bukan tidak sah nikah.

3. Zhahir ayat-ayat al-Quran

Al-Imam Abu Hanifah berhujah dgn zahir ayat2 al-Quran yg menyatakan perempuan itu menikahkan dirinya sendiri iaitu 230, 232 dan 234 surah al-Baqarah ;

230. kemudian jika si suami mentalaknya (sesudah Talak yang kedua), Maka perempuan itu tidak lagi halal baginya hingga Dia kawin dengan suami yang lain. kemudian jika suami yang lain itu menceraikannya, Maka tidak ada dosa bagi keduanya (bekas suami pertama dan isteri) untuk kawin kembali jika keduanya berpendapat akan dapat menjalankan hukum-hukum Allah. Itulah hukum-hukum Allah, diterangkan-Nya kepada kaum yang (mau) mengetahui.

232. apabila kamu mentalak isteri-isterimu, lalu habis masa iddahnya, Maka janganlah kamu (para wali) menghalangi mereka kawin lagi dengan bakal suaminya, apabila telah terdapat kerelaan di antara mereka dengan cara yang ma’ruf.

234. orang-orang yang meninggal dunia di antaramu dengan meninggalkan isteri-isteri (hendaklah Para isteri itu) menangguhkan dirinya (ber’iddah) empat bulan sepuluh hari. kemudian apabila telah habis ‘iddahnya, Maka tiada dosa bagimu (para wali) membiarkan mereka berbuat terhadap diri mereka menurut yang patut. Allah mengetahui apa yang kamu perbuat.

Abu Hanifah mengangggap zahir nas al-Quran itu amat kuat dan tidak boleh ditakhsis atau ditafsil oleh hadith al-Ahad. Beliau hanya menerima hadith mutawatir atau mashhur yang tidak dipertikaikan. Abu Hanifah menolak hadith al-Zuhri di atas karena apabila al-Zuhri ditanya tentang hadits tersebut beliau tidak mengetahuinya dan menafikan bahwa beliau meriwayatkannya. Dalam sanad hadith riwayat Ibn Majah pula ada seorang pendusta bernama Jamil ibn Hasan al-‘Ataki.

4. Hujah qiyas

Al-Imam Abu Hanifah dan Ulama al-Hanafiyyah juga berhujah dengan qiyas yaitu apabila wanita bebas dalam aqad jual beli dan aqad urusan-urusan lain, maka mereka juga bebas secara mutlak tentang aqad perkawinan mereka. Ini karena tiada perbedaan antara satu aqad dengan aqad yang lain. Mereka juga mengqiyaskan wanita dengan lelaki dalam mewalikan diri sendiri setelah aqil baligh. Menghalang wanita yg baligh dan aqil mengahwinkan diriny dgn mana2 lelkai yg sekufu adalah bersalaagn dgn prinsip2 Islam yg asas (qawa`id al-Islam al-‘ammah).

Al-Hafiz Ibn Abi Shaybah meriwayatkan dengan dua sanad yang sahih dari Zuhri dan Sha’bi tentang nikah tanpa wali, keduanya berkata, Sekiranya dengan lelaki sekufu ia adalah harus (sah).

Al-Imam Abu Thawr dan al-Awza`i mengatakan bahwa harus (boleh) bagi wanita muslimah mewalikan dirinya sendiri dengan izin walinya berpegang dengan mafhum (pemahaman) hadits, “Mana-mana perempuan yang bernikah tanpa izin walinya…”

kesahihan aqad nikah oleh seseorang perawan atau janda adalah pendapat ‘Amir al-Sha`bi, Zufar, dan ulama Kufah. Mereka berpendapat wali bukan rukun sah nikah tapi hanya syarat tamam (kesempurnaan) nikah. Abu Yusuf, Muhammad ibn al-Hasan dan al-Awza`i mengatakan perkara ini sah dengan keizinan wali.

NIKAH BERWALIKAN LELAKI SHALIH

Al-Imam Ibn Sirin

Al-Hafiz Ibn Hazm berkata telah sabit riwayatnya yang sahih dari Ibn Sirin, bahwa perempuan yang tidak mempunyai wali lalu menyerahkan kewaliannya kepada lelaki yang sholeh untuk mengaqadkannya maka ia adalah harus (sah). Berdasarkan ayat 55 dari al-Qur’an surah al-maidah ; Sesungguhnya wali kamu hanyalah Allah, Rasul-Nya, dan orang-orang yang beriman, yang mendirikan shalat dan menunaikan zakat, seraya mereka tunduk (kepada Allah).

Untuk sahnya pernikahan, para ulama telah merumuskan sekian banyak rukun dan atau syarat, yang mereka pahami dari ayat-ayat Al-Quran maupun hadis-hadis Nabi Muhammad Saw. Adanya calon suami dan istri, wali, dua orang saksi, mahar serta terlaksananya ijab dan kabul merupakan rukun atau syarat yang rinciannya dapat berbeda antara seorang ulama/mazhab dengan mazhab 1ain; bukan di sini tempatnya untuk diuraikan.

Calon istri haruslah seorang yang tidak sedang terikat pernikahan dengan pria lain, atau tidak dalam keadaan ‘iddah (masa menunggu) baik karena wafat suaminya, atau dicerai, hamil, dan tentunya tidak pula termasuk mereka yang terlarang dinikahi, sebagaimana disebutkan di atas.

Abu Hanifah dan Abu Yusuf Berpendapat: “Sesungguhnya wanita yang sudah dewasa dan berakal sehat berhak mengurus sendiri `aqad pernikahannya, baik ia gadis maupun janda. Tetapi yang sebaiknya ia menguasakan `aqad nikahnya itu kepada walinya, demi menjaga pandangan yang kurang wajar, dari pihak pria asing, seandainya ia sendiri yang melangsungkan aqad nikahnya itu. Tetapi wali `ashib (ahli waris) tidaklah mempunyai hak untuk menghalang halanginya bila mana seorang wanita menikah dengan seorang pria dengan mahar yang kurang dari nilai mitsl (batas minimal).

Jika seorang wanita kawin dengan pria yang tidak sederajat tanpa persetujuan wali ‘ashibnya, menurut pendapat yang diriwayatkan dari Abu Hanifah dan Abu Y’usuf, pernikahan tersebut tidak sah. Pendapat ini cukup beralasan karena tidak setiap wali dapat mengadukan perkaranya kepada Hakim, dan tidak setiap Hakim dapat memutuskannya dengan adil.

Dalam keterangan lain disebutkan bahwa Abu Hanifah dan Abu Yusuf berpendapat Bahwa wali berhak menghalang-halangi perkawinan wanita dengan pria yang tidak sederajat dengan jalan permohonan kepada Pengadilan untuk membatalkannya. Dengan alasan untuk menjaga `aib yang kemungkinan timbul dari pihak suaminya selama belum melahirkan atau belum hamil. Jika ternyata sudah hamil atau melahirkan, maka gugurlah haknya untuk meminta pembatalan Pengadilan, demi menjaga kepentingan anak din memelihara kandungannya. Tetapi jika pihak prianya sederajat, sedangkan maharnya kurang dari mahar mitsl, dan jika wali mau menerima calon suami ini, maka perkawinannya boleh terus berlangsung. Sebaiknya, kalau ia menolak, yang bersangkutan boleh mengadu kepada Hakim untuk meminta pembatalan.

Seandainya dari pihak wanita tidak mempunyai wali `ashib (ahli waris) yaitu sama sekali tak mempunyai wali atau wali yang bukan wali `ashib, maka tak ada hak bagi seorangpun diantara mereka ini untuk menghalang-halangi aqad nikahnya, baik ia kawin dengan pria sederajat atau tidak, dengan mahar mitsl atau kurang. Sebab dalam keadaan demikian seluruh urusan dirinya menjadi tanggung jawabnya sendiri sepenuhnya. Seandainya tidak ada seorang wali yang merasa terkenal, karena perkawinannya dengan pria yang tidak sederajat itu dengan sendirinya mahar mitslnya menjadi gugur, sebab ia sudah terlepas dari wewenang wali-walinya.

Kesimpulannya ; Dalam Fikih Abu Hanifah terdapat Konsep Wali nikah (tidak wajib) yang kontradiktif dengan jumhur (kebanyakan) ulama fikih, yaitu “la yustararul waliyu fi sihhatin nikah al-balighah.” maksudnya adalah bolehnya nikah tanpa wali bagi wanita yang sudah dewasa (perawan atau janda), bahkan lebih lanjut dijelaskan bahwa seorang wanita dewasa boleh melakukan akad nikahnya sendiri tanpa perantara walinya. Adapun argumentasi yang diajukan oleh Abu Hanifah adalah:

1. Q.S. Al- Baqarah (2): 230; “Kemudian jika si suami mentalaknya (sesudah talak yang kedua), maka perempuan itutidak halal lagi baginya hingga dia kawin dengan suami yang lain….” Dan Q.S. Al- Baqarah (2): 234 yakni “…Kemudian apabila telah habis ‘iddahnya, maka tiada dosa bagimu (para wali)membiarkan mereka berbuat terhadap diri mereka menurut yang patut…” Dalam ketiga ayat tersebut, akad dinisbahkan kepada perempuan, hal ini menunjukkan bahwa perempuan memiliki hak melakukan pernikahan secara langsung (tanpa wali).

2. Perempuan bebas melakukan akad jual-beli dan akad-akad lainnya, karena itu ia bebas melakukan akad nikahnya. Karena tidak ada perbedaan hokum antara akad nikah dengan akad-akad lainnya.

3. Hadis-hadis yang mengaitkan sahnya perkawinan dengan ijin wali bersifat khusus, yaitu ketika sang perempuan yang akan menikahkan dirinya itu tidak memenuhi syarat untuk bertindak sendiri, misalnya karena masih belum dewasa atau tidak memiliki akal sehat. Hal ini berdasarkan Hadits Nabi Muhammad SAW : ”Orang-orang yang tidak mempunyai jodoh lebih berhak atas perkawinan dirinya daripada walinya, dan gadis itu dimintakan persetujuannya untuk dinikahkan dan tanda ijinnya ialah diamnya” (Hadits Bukhari Muslim).

Penutup

Dari dua pendapat, di atas mana yang benar? Tentunya seseorang tidak bisa mengklaim dan memvonis pendapat ini paling benar, atau pendapat itu salah (bathil). Sebab kesemuanya itu merupakan bentuk ijtihad ulama mazhab (Abu Hanifah, Imam Malik, Imam Asy-Syafi’i dan Imam Ahmad bin Hanbal) dikalangan ahlussunnah wal jama’ah, yang kita boleh mengambil dan memilih mana yang cocok dan diyakini oleh kita. Sebab kebenaran mutlak hanya datangnya dari Allah dan Rasul-Nya saja. ( Wallahu A’lam bish-Showab)

*) tulisan ini diambil dari berbagai sumber oleh Alianoor H.Asmuni Basri (Penyuluh Agama Islam Fungsional Kandepag Barito Utara).

56 Komentar

Comments RSS
    • Abu Tsabita

      masalah wali nikah masih menjadi perselisihan ulama, jd dalam menyikapinya kita tidak berlebihan, yang terpenting sesuai keyakinan yang kita miliki

    • Abu Tsabita

      trimakasih kritiknya, memang dikomputer saya tdk ada program arabicnya jd ga bisa dimasukkan haditsnya. jazakillah

    • Abu Tsabita

      afwan bukan ga ada haditsnya tp karena keterbatasan terpaksa haditsnya tidak saya cantumkan, jazakillah atas kritiknya

  1. Budak Kecik

    salam..nak tanya,boleh ke kalau sy bernikah mengikut mazhab hanafi kerana bakal suami saya bermazhab hanafi.. boleh ke kalau sy bernikah tanpa izin wali? ayah sy tidak mengizinkan sy bernikah selagi saya belum habis belajar..sedangkan bakal suami saya,baik agama dan akhlaknya.. mengikut fahaman saya,boleh sy berbuat demikian walau sy masih berpegang kepada mazhab syafie kerana saya telah berjumpa org yg baik agamanya dan baik hafalannya (hafiz)..dan saya berada beribu batu jauh dari keluarga dan berbeza benua..bukan kah nikah harus disegerakan jika sudah berjumpa pasangannya..dan alasan ayah menghalang pernikahan sy hanya kerana sy masih study..sudah dipujuk,masih tetap dengan keputusannya..alasan duniawi semata2..sedangkan niat perkahwinan adalah untuk menjaga dan menyempurnakan agama.. saya tetap ingin bernikah tanpa izin ayah sy kerana setelah dipertimbangkan alasan2 di atas tetapi sebagai anak,sy berat hati untuk melakukannya..apakah betul pendapat sy seperti yg di atas dan bagaimana untuk saya hadapi masalah ini?? apakah hujah2 yang dapat saya beri kepada ayah saya? dan jika saya tetap tidak mendapat izinnya,boleh kah sy teruskan niat sy untuk bernikah tanpa wali? saya berada di mesir dan di sini terdapat terlalu ramai syeikh yang layak untuk menjadi orang yang menikahkan..

    • Abu Tsabita

      Dalam Islam tidak ada keharusan mengikuti satu mazhab, silahkan selama suka sama suka.

    • Abu Tsabita

      nikahnya sah, masalah setuju atau tidak anak-anaknya itu tidak mempengaruhi sebuah pernikahan. Anak yang baik ia pasti akan menyetujui pernikahan sang ibu, cuman sang ibu harus melihat dulu calon suaminya itu apakah bisa menyayangi anak-anak dari istrinya itu.

    • Abu Tsabita

      itu tinggal pendekatan sang ibu aja dengan anak dan memberi pengertian, namun secara syari’at seorang anak tidak berhak melarang sang ibu untuk menikah. anak yang sholeh akan merestui jika sang ibunya ingin menikah jika memang itu pilihan sang ibu dan sesuai syari’at Islam. Wallahu A’lam.

  2. Muhammad Imron

    klo yang terjadi di suatu daerah penganut syafi’iyah, kemudian karena melihat pendapat dari imam yang lain itu lebih mudah dan gampang.
    apakah kita boleh mengikuti imam yang lebih gampang itu?
    trz apa kaitan y dengan kaidah yang mengatakan bahwa ” adad/kebiasaan itu menjadi hukum”?

    • Abu Tsabita

      masalah wali nikah itu perkara ikhtilaf di antara ulama, bagi yang menyakini nikah tanpa wali sah maka tdk masalah. Memang mayoritas di Indonesia menggunakan mazhab syafi’i yang menjadikan wali sbgai rukun nikah.

    • Abu Tsabita

      tidak ada kewajiban setiap muslim untuk mengikuti mazhab tertentu, tetapi tidak salah kalau dia ittiba dengan mazhab tertentu jika diketahui dalil yang dipegang oleh mazhab tertentu tsb kuat dan shohih. Masalah wali nikah,, kalau akhi menyakini mazhab syafi’i yang mewajibkan nikah harus pakai wali itu hak akhi dan tidak salah, namun jika ada orang yang menikah tanpa wali dan menyakini mazhab yang diikutinya itu dasarnya kuat dan shohih ya silahkan aja tanpa harus menyalahkan.
      Masalah adat/kebiasaan akan menjadi hukum jika tidak bertentangan dengan dalil yang shohih. Tetapi kaidah tersebut tidak bisa dijadikan patokan pasti. Tetapi adat tidak boleh mengalahkan syari’at/dalil. Wallahu a’lam

    • Abu Tsabita

      nikah mut’ah / nikah kontrak awalnya dihalalkan karena kondisi tertentu kemudian diharamkan. Namun menurut pemahaman fiqih ahlul bait yang dianut oleh syi’ah bahwa nikah mut’ah/nikah kontrak tetap berlaku untuk mengantisifasi perzinaan. (Wallahu a’lam)

    • Abu Tsabita

      menurut mazhab ja’fari yang dianut mayoritas syi’ah bhwa nikah kontrak itu sah, tetapi mayoritas ulama sunni hukumnya haram, wallahu a’lam

    • Abu Tsabita

      menurut sunni nikah mut’ah atau kontrak haram, kecuali mazhab ja’fary yang dianut syi’ah nikah mut’ah/kontrak itu boleh. wallahu a’lam

  3. Naluri Semesta

    Assalamualaikum.
    Saya mau tanya, kalo saya menikah tanpa wali (keluarga dari calon istri saya) apakah nikahnya sah ?
    Soalnya saya takut berpacaran tapi kita saling mencintai.
    Terimakasih
    Wassalam

    • Abu Tsabita

      insya Allah sah jika wanita tersebut sdh dewasa dan tanpa ada paksaan, wallahu a’lam

    • Abu Tsabita

      insya Allah sah tentunya calon isteri tersebut sudah dewasa. Wallahu a’lam

  4. Td Gee Prananta

    asslmkum wr wb
    mazhab Hanafi bagus juga, krn dalil2nya kuat & mendukung situasi yg saya hadapi saat ini. namun, bagaimanakah dengan saksi: misalnya saya menikah hanya berdua saja tanpa saksi, apakah boleh ??
    jika boleh, adakah dalil2nya yg kuat pula ?? terima kasih

    • Abu Tsabita

      semua ulama sepakat wajib pernikahan dengan dua saksi laki-laki yang adil dan tidak fasiq, wallahu a’lam

    • Abu Tsabita

      dua orang saksi itu suatu keharusan dan tidak sah tanpa saksi sebuah pernikahan, kecuali dalam nikah mut’ah menurut mazhab ja’fari.

  5. Ahmad L Fakhri Al-batawi

    dalam mazhab hanafi ada 2 pendapat, pertama imam abu hanifah dan imam zufar yang disebutkan diatas dan pendapat imam abu yusuf dan imam muhammad bin hasan yaitu tidah sah menikah tanpa wali, walaupun hanafiyyah berkata:”yang shahih pendapat abu hanifah”, tetapi jika dilihat kondisi dizaman ini maka dilakukakn tarjih diantara dua pendapat,maka yang kuat untuk zaman ini pendapat imam abu yusuf dan imam muhammad bin hasan. wallahu a’lam

    • Abu Tsabita

      tergantung keyakinan pendapat mana yang dia ikuti, namun yang jlas nikah tanpa wali menurut abu hanifah tetap sah. Wallahu a’lam

  6. Maya Sunset

    Assalamu alaikum. ..
    apakah cerai dari pernikahan siri harus memakai saksi dan surat hitam atas putih, untuk sah cerai talak 3
    terimakasi.
    wassalam…

    • Abu Tsabita

      tidak ada ketentuan bahwa cerai harus pakai saksi, jd jika seorang suami mentalaq isterinya maka sah hukumnya walau tanpa ada saksi. Wallahu a’lam.

    • Abu Tsabita

      tidak ada ketentuan dalam fiqih bahwa cerai itu harus pakai saksi, yang terpenting ada aqad/pernyataan dari sang suami untuk mentalaq dan dalam keadaan sadar dan tidak terpaksa juga tidak dlm keadaan marah. wallahu a’lam bish-showab

    • Abu Tsabita

      cerai tidak ada ketentuan harus pakai saksi, yang ada adalah lafazh ucapan tholaq yg diucapkan suami dlm keadaan sadar kepada isterinya. Wallahu A’lam

    • Abu Tsabita

      berdasarkan beberapa pandangan ulama, nikah tanpa wali sah aja asal sang perempuan sudah dewasa, wallahu A’lam bish-showab.

    • Abu Tsabita

      insya Allah sah, selama wanita tersebut sdh dewasa dan disertai dua orang saksi yang adil. wallahu a’lam bish-showab

    • Abu Tsabita

      sesuai mazhab Hanafi nikah tanpa wali insya Allah sah asal wanita tersebut telah dewasa. Wallahu A’lam.

  7. Ramones Lee

    Assalmu’alaikum Wr. Wb…
    Ustaz Apakah Ada syarat-Syarat Tertentu Apabila kita hendak menggunakan mazhab imam hanafi.?
    Mungkin dengan menggunakan pendapat beliaulah solusi yang paling tepat untuk keadaanku sekarang, Karena saya takut terjerumus kedalam lembah perzinahan. syukroN

    • Abu Tsabita

      tidak ada syarat tertentu, yang penting anda menyakini pendapat tersebut, dan wanita tersebut sdh baligh/dewasa dan disertai dua orang saksi yang adil, disamping itu mahar tetap wajib disediakan. wallahu a’lam bish-showab.

  8. Ramones Lee

    Terus, bagaimana cara akad yang benar kalo kita menggunakan madzhab hanafi,,?
    dan apakah maharnya ditentukan atau tidak..?
    kalu memang diteneukan berapakah mahar yang harus diberikan kepada calon istri..?

    • Abu Tsabita

      yang menentukan mahar itu adalah hak wanita, terserah wanita minta apa sebagai maharnya. Cara ijab yang diucapkan wanita untuk menikahkan dirinya adalah : SAYA NIKAHKAN DIRI SY DENGAN KAMU DENGAN MAHAR……TUNAI. Dan pihak laki-laki menjawab : SAYA TERIMA MENIKAHI DIRIMU DENGAN MAHAR…TUNAI. Kemudian 2 orang saksi membenarkan maka nikahnya sah. Untuk lebih jelas masalah ini silahkan baca buku soal jawab oleh A.Hasan.Wallahu A’lam.

  9. Viki Viqi Kelincy

    saya pernah menikah tanpa wali tanpa penghulu tapi ada 2 orang saksi dan memberi mahar,,

    pertanyaan saya sah kah nikah saya tanpa penghulu ustad ??

    • Abu Tsabita

      di dalam madzhab hanafi nikah tanpa wali itu sah jika wanita yg dinikahi telah dewasa, kemudian ada 2 orang saksi, serta mahar.Wallahu A’lam.

  10. Ombak Sepi

    mohon pandangan, bolehke, jika seorg lelaki menikahi seorg janda dengan hanya, pengantin (ppuan (janda), lelaki, akad dan lafaz nikah serta mas kawin, berdasarkan pandangan mazhab zahiri serta syiah jaafari.. nikah ini bukan nikah yg kontrak atau ada tempoh tapi secara kekal, ini di lakukan kerana situasi mendesak, sebab ada halangan atau situasi sesat di pulau atau sebab2 yg lain….

    • Abu Tsabita

      sesuai fiqih yg mu’tabar dikalangan ahlussunnah bahwa ak sah tanpa ada saksi. Menurut sy apa yg saudara sebutkan tidak sah nikahnya. Wallahu’alam.

    • Abu Tsabita

      saksi nikah syaratnya dewasa (sudah baligh), harus adil dan tidak fasiq

  11. Mas Broy

    Assalamualaikum.
    Saya mau tanya, kalo saya menikah tanpa wali (keluarga dari calon istri saya) apakah nikahnya sah ?
    Soalnya saya takut berpacaran sedangkan untuk menikah yang resmi saya belum punya biaya
    Terimakasih
    Wassalam

    • Abu Tsabita

      Wa’alaikum Salam…Insya Allah sah nikah jika tidak pakai wali menurut pendapat imama Abu Hanifah dan yang lainnya asalkan pihak wanitanya sudah dewasa. Silahkan baca Soal Jawab A.Hasan. Wallahu A’lam bish-Showab

    • Abu Tsabita

      Wa’alaikum Salam…Berdasarkan pendapat dari Imam Abu Hanifah Sah nikahnya asal pihak wanita tsb telah dewasa, dan disaksikan dua orang laki-laki yang adil, disamping itu ada mahar. Wallahu A’lam Bish-Showab.

    • Abu Tsabita

      Wa’alaikum salam…Insya Allah sah menurut mazhab Hanafi, dgn syarat perempuannya sudah dewasa, ada dua orang saksi yang adil, serta adanya mahar, untuk lebih jelasnya silahkan baca buku SOAL JAWAB A. HASAN. Wallahu A’lam bish-Showab.

  12. hsnamara

    Assalamu”alaikum Warahmatullaahi Wabarakaatuh

    Ustadz yang selalu dirahmati Allah, saya bersyukur kepada Allah SWT yang telah memberikan petunjukNya dengan menambah pengetahuan saya melalui tulisan yang terdapat dalam website Ustadz ini. Pembahasan yang cukup gamblang memudahkan saya untuk bisa memahami sedikit demi sedikit apa yang dipaparkan pada tulisan di atas, alhamdulillaah Allah telah menuntun saya berkunjung ke website Ustdz dalam rangka mempelajari ilmu pengetahuan apalagi berkaitan dengan permasalahan sehari-hari yang terjadi dalam kehidupan seorang muslim terutama dalam masalah pernikahan

    Dalam tugas dan kedudukan sebagai seorang suami, seorang ayah, dan kakek dari beberapa orang cucu serta anggota masyarakat, ada keinginan saya untuk bisa membagikan pengetahuan yang saya dapat ini kepada masyarakat muslim yang berada di lingkungan tempat saya tinggal terutama juga jika ada sebuah permasalahan yang berkenaan dengan masalah yang menjadi topik dalam tulisan di atas.

    Oleh karena keterbatasan waktu dan kesempatan yang menyebabkan saya agak terbatas untuk berkunjung secara rutin ke tempat Ustadz membagikan pengetahuan yang sangat luar biasa ini,
    maka pada kesempatan ini, saya meminta izin kepada Ustadz untuk mengkopi tulisan di atas agar saya bisa membacanya secara offline serta dapat menjadi pengetahuan bagi siapapun yang membutuhkan jika mengalami permasalahan tersebut. Insya Allah saya akan selalu memberikan informasi bahwa apa yang saya sampaikan tersebut bersumber dari tulisan maupun pembahasan di : https://alianoor.wordpress.com/
    Atas perkenan Ustadz, saya ucapkan terima kasih, semoga Allah SWT membalas seluruh kebaikan Ustadz, jazakumullaah.

    Wasssalamu’alaikum Warahmatullaahi Wabarakaatuh

    • Abu Tsabita

      Wa’alaikum Salam…Silahkan.

    • Abu Tsabita

      insya Allah boleh…nikah tanpa wali insya Allah sah menurut mazhab abu hanifah krn wali bukan syarat sebuah pernikahan asalkan wanitanya telah dewasa. Wallahu A’lam bish-Showab.

  13. cici81

    Assalamu’alaikum warohmatullohi wabarokatuh … Afwan Ustadz bgmn bila dlm sebuah pernikahan itu pihak wanita y tdk berikrar krna ktka akad nikah berlangsung si wanita nya dlm keadaan pingsan dan mengingat sistm komunikasi yg smkin canggih di jmn skrg apakah dlm sebuah pernikahan ktka wali tdk bsa hadir krna suatu hal apkah bsa di lkukan dgn sistem vidio coll

    • Abu Tsabita

      Wa’alaikum salam warahmatullahi wabarakatuh…Baarakallhu fiek… sebuah pernikahan dianggap sah jika perwalian dilakukan melalui telpon / video call kepada pihak KUA untuk diwakilkan, tentunya harus disaksikan oleh dua orang saksi. Wallahu A’lam bish-Showab

  14. cici81

    Barokallohu fikk …. syukron katsiron Ustadz

    • Abu Tsabita

      wa iyyaka…kalau boleh tau saat ini posisi di mana?

Tinggalkan komentar