Agar Ibadah Bernilai Di Sisi Allah

· Uncategorized
Penulis

Ibadah maknanya menurut syari’at, adalah : Merendahkan diri kepada Allah dengan mengerjakan perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya atas dasar cinta dan membesarkan-Nya ( Al-Qaulul Mufid a’la kitabut-Tauhid 1/10 oleh Al-Utsaimin). Sesungguhnya ibadah menurut tinjauan syari’at terbagi kepada dua hal ;

Pertama, ibadah mahdhah.

Kaidah dasar di dalam ibadah mahdhah adalah tidak boleh mengerjakan dan melaksanakan sesuatupun kecuali apa yang Allah telah syari’atkan, yaitu ada dalil yang menjelaskan hal tersebut dan telah dicontohkan oleh Rasulullah SAW dan para sahabat. Prinsip pelaksanaan ibadah mahdhah itu sendiri meliputi dua hal pula ;

1. Kepada siapa ibadah itu ditujukan seseorang ? Tentunya tidak lain ditujukan kepada Allah SWT, berdasar firman Allah SWT (Qs. 51 : 56) : “ Dan aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka mengabdi kepada-Ku “.

2. Bagaimana cara beribadah yang telah disyari’atkan ?

Ibadah adalah perkara tauqifiyah, artinya tiada suatu bentuk ibadah pun yang disyari’atkan kecuali berdasarkan dalil Al-Qur’an dan Hadits Shohih. Karena apa yang tidak disyari’atkan berarti sesuatu yang mengada-ada walaupun secara logika itu baik, tetapi tertolak. Bahkan ia berdosa karenanya, sebab amal tersebut adalah maksiat bukan ketaatan ( kitabut-Tauhid oleh Syaikh Sholeh al-Fauzan). Berdasar hadits Shohih Dari Aisyah, RA berkata : bahwa Rasulullah shollallohu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Barang siapa yang mengada adakan sesuatu perbuatan (dalam agama) yang sebelumnya tidak pernah ada, maka tidak akan diterima”. (HR. Muslim). Allah SWT berfirman ; “Apakah mereka mempunyai sesembahan sesembahan selain Allah yang mensyariatkan untuk mereka agama yang tidak diridloi Allah ?, sekiranya tak ada ketetapan yang menentukan (dari Allah) tentulah mereka telah dibinasakan. Dan sesungguhnya orang orang yang dhalim itu akan memperoleh azab yang pedih” (QS. As syuro, 21).

Agar bisa di terima di sisi Allah, ibadah disyaratkan harus benar, dan ibadah itu tidak akan bernilai kecuali dengan dua syarat, yaitu :

1. Ikhlas karena Allah semata, bebas dari syirik kecil dan besar, sebagaimana firman Allah SWT (Qs. Az-Zumar :2-3) ; Maka sembahlah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya. Ingatlah, hanya kepunyaan Allah-lah agama yang bersih (dari syirik).

2. Mutaba’ah ( sesuai ) dengan tuntunan dari Rasulullah SAW.

Seorang mukmin wajib mentaati syari’at yang di bawa oleh Rasulullah SAW tanpa menambah dan mengurangi. Syari’at yang di bawa oleh Rasulullah SAW telah sempurna dan utuh, tidak perlu lagi adanya penambahan dan pengurangan. Setinggi dan seluas apapun pengetahuan seseorang, tidak punya wewenang untuk membuat syari’at atau mengadakan perkara ibadah tanpa merujuk kepada al-Qur’an dan Hadits Shohih, berdasar firman Allah dan hadits Rasulullah SAW : “… pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu Jadi agama bagimu.” Dan dalam riwayat imam Muslim, Rasulullah bersabda : “Barang siapa mengerjakan suatu perbuatan yang belum pernah kami perintahkan, maka ia tertolak”.

Kedua, Ibadah Gairu Mahdhah ( Muamalah ).

Dasar di dalam muamalah ialah tidak boleh melarang sesuatu kecuali apa-apa yang telah dilarang oleh Allah dan Rasul-Nya Muhammad SAW. Artinya sesuatu itu asalnya boleh dikerjakan sampai datang dalil yang melarang atau mengharamkannya.

Tinggalkan komentar